Rabu, 14 April 2021

Asal usul Cangik dan Limbuk

Cangik dan Limbuk, dua tokoh klasik dalam jagat pewaygan, yg menggambarkan orang yg setia kepada junjungannya. Mereka bukan sekedar orang biasa atau ‘parekan’ (dayg-dayg), tetapi lebih dari itu,mereka adalah sahabat dekat para junjungan putri atau permaisuri, yg mengabdikan diri dengan kesetiaan tanpa batas.

Di dunia pewaygan, kita selalu berhadapan dengan dua tokoh wanita, yaitu Cangik dan Limbuk. Mereka berdua, selalu ditampilkan saat tiba pada adegan ‘keputren’ di suatu kerajaan. Ini merupakan suatu adegan yg boleh dikatakan selalu ada di setiap pagelaran wayg. Saking seringnya kedua tokoh ini tampil, sampai-sampai kita tidak pernah tahu atau tidak mau tahu, siapakah sebenarnya mereka berdua itu. Pada judul bahasan ini, saya memakai istilah ‘dua sahabat’ dan bukannya memakai istilah ‘dua wanita’. Memang keduanya, Cangik dan Limbuk, adalah dua orang wanita. Tetapi keduanya sebenarnya sudah meningkatkan level dirinya, menjadi ‘dua sahabat’ bagi sang putri atau permaisuri yg diikutinya.

Kesalahan terbesar dari kita sebagai pengamat dan penikmat pagelaran wayg, khususnya wayg kulit, adalah bahwa tokoh Cangik dan Limbuk seringkali kita pandang sebagai dua orang dayg-dayg atau kasarnya sebagai ‘pembantu’ seorang putri atau permaisuri raja. Ini merupakan kesalahan pemahaman yg bisa dikatakan fatal. Mengapa demikian? Sebab mereka berdua, Cangik dan Limbuk, sebenarnya bukanlah dayg-dayg dan bukan pula pembantu dalam pemahaman umum seperti yg kita kenal. Mereka berdua, adalah ‘panakawan’, yg artinya ‘sahabat’. Jika tokoh panakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong; adalah panakawan bagi para tokoh ksatria; maka Limbuk dan Cangik adalah panakawan bagi tokoh putri atau permaisuri. Mereka berdua, bukanlah tokoh biasa. Mereka berdua, adalah tokoh yg peran dan fungsinya sangat luar biasa. Meskipun kenyataannya, mereka berdua kalah pamor dengan para panakawan ksatria yg lebih banyak diekspos dan ditampilkan.

Gambaran bahwa Cangik adalah wanita tua renta yg bertubuh jelek dan buruk rupa, merupakan gambaran yg benar-benar menggambarkan pemahaman kita yg salah terhadap Cangik. Begitu pula tentang Limbuk yg digambarkan tubuhnya tambun (gemuk) dan bermuka jelek. Cangik bukanlah wanita berwajah buruk seperti banyak dikatakan orang. Cangik, adalah gambaran seorang wanita tua yg sangat setia kepada majikannya. Ia adalah seorang wanita yg bertindak sebagai ‘rewang’ bagi majikan perempuan (misalnya: isteri, permaisuri). Bersama anaknya, yg bernama ‘Limbuk”, keduanya merupakan teman atau sahabat sejati, tempat sang putri atau permaisuri curhat, merenungkan kehidupannya, dan mendiskusikan kegundahan hatinya. Mereka berdua, bukanlah orang biasa! Mereka berdua adalah orang-orang dalam lingkungan terdalam suatu istana. Kalau memakai istilah jaman sekarang, mereka berdua itu termasuk orang-orang yg ‘berada di lingkaran ring satu’, yg merupakan orang-orang kepercayaan yg berada paling dekat dan sangat erat hubungannya dengan orang terpenting di istana. Mereka juga ‘pemegang rahasia’ sang puteri atau permaisuri. Begitu dekat dan eratnya hubungan mereka dengan junjungannya, sehingga bisa dikatakan hubungannya jauh melebihi yg bisa dilakukan oleh seorang menteri atau mahapatih (menteri koordinator, menko).

Cangik dan Limbuk, bukanlah ‘babu’ seperti yg banyak digambarkan orang. Mereka berdua, adalah ‘rewang’. Dalam bahasa Jawa, artinya ‘orang yg membantu’. Dalam pemahaman ini, mereka bukanlah ‘pembantu’ (babu). Rewang, artinya ‘penolong’. Istilah ‘ngrewangi’, artinya membantu atau menolong. Maksudnya membantu atau menolong mendengar curhat sang junjungan, membantu memberikan saran, membantu menenangkan sang junjungan, membantu menyenangkan hati sang junjungan, membela junjungannya , dan membantu mencarikan jalan keluar jika ada masalah. Dalam budaya tradisional Jawa, seorang ‘rewang’ akan tinggal bersama, jika perlu tidur dan menjaga di kamar sang puteri, makan menu dan makanan yg sama dengan junjungannya. Mereka seringkali juga merawat dan membesarkan anak-anak dari keluarga yg diikutinya.[Mereka bukanlah ‘orang belakang’, tetapi lebih tepat disebut sebagai ‘orang dalam’. Dalam kehidupan nyata, mereka seringkali diberi kepercayaan yg sangat luar biasa, yg berhubungan dengan harta, kekayaan, rahasia, rumah tinggal, dan anak-anak. Karena itu, mereka berdua, bukanlah ‘parekan’ (dayg-dayg). Kalau di jaman sekarang, mungkin mereka berdua itu lebih tepat disebut ‘asisten pribadi’.

Cangik, lazimnya digambarkan sebagai wanita dewasa yg banyak pengalamannya. Sedang Limbuk, lazimnya digambarkan sebagai wanita muda sedang magang (untuk nantinya menggantikan Cangik). Mengapa Limbuk digambarkan bertubuh gemuk dan Cangik bertubuh kurus? Sebab, seseorang yg mengabdi tanpa pamrih kepada seseorang lainnya (junjungannya), meskipun ia semula bertubuh gemuk, jika pengabdian itu dilakukan tanpa pamrih, maka ia akan menjadi kurus dengan sendirinya. Kurus, menggambarkan orang yg jujur, sederhana, tidak banyak tuntutan, hidupnya tidak mengejar materi dan kekayaan. Juga menggambarkan sifat orang yg sederhana, tidak neka-neka. Limbuk yg tubuhnya tambun, menggambarkan seorang wanita yg masih muda dan masih memikirkan materi dan duniawi.

Cangik dan Limbuk, menggambarkan ‘asisten pribadi’ seorang putri/wanita. Di negara/kerajaan manapun, peran keduanya ini selalu ada. Bahkan di jaman sekarang pun (di abad ke-21) peran keduanya pun ada (dalam dunia yg nyata). Bahagialah anda, yg masih bisa menikmati kesetiaan mereka yg tanpa batas. Selamat merenungkan.



Sabtu, 03 April 2021

Miniatur Wayang Jagal Abilawa

JAGAL ABILAWA


Jagal Abilawa (bermuka dan seluruh badannya hitam) adalah nama samaran dari Raden Bratasena (Wrekudara waktu masih muda). Dia menyamarkan diri, karena pada masa itu para Pandawa mendapat kemalangan oleh perbuatan Kurawa. Bratasena dan saudara-saudaranya Pandawa berlindung ke negeri Wirata, dengan menyamar dan menghamba pada raja Wirata.

Di negeri Wirata pada masa itu ada perang tanding yang diadakan oleh putera raja yang bernama Raden Rajamala. Masuklah Jagalabilawa ke gelanggang perang tanding itu, Rajamala dapat dikalahkan. Kemudian tertolonglah kesengsaraan Pandawa, kelimanya saudara itu mengabdi ke Wirata.

Bentuk dan pakaian Jagalabilawa tak beda Bratasena, hanya berambut terurai bentuk gimbal.

Abilawa atau Jagal Abilawa adalah nama samaran Bima saat menyamar di negara Wirata setelah menjalani pengasingan selama 12 tahun bersama dewi Drupadi dan ke-empat saudaranya karena perbuatan Kurawa.

Bentuk dan pakaian Abilawa tidak beda dengan Bratasena (Jayasena), hanya perbedaan dirambut yang terurai gimbal.

Dalam penampilan wayang kebanyakan penggambaran Abilawa bermuka dan seluruh badannya hitam).

Nama Samaran Pandawa saat di negara Wirata :
1. Yudistira atau Darmakusumah menyamar sebagai Brahmana dengan nama Kangka
2. Bima ata Werkudoro menyamar sebagai tukang jagal daging dengan nama Abilawa (Jagal Abilawa)
3. Arjuna menyamar sebagai seorang seniman / guru tari dengan nama Wrihatnala
4. Nakula menyamar sebagai perawat kuda dengan nama Grantika
5. Sadewa menyamar sebagai tukang kebun / mengurus taman dengan nama Tantripala
6. Drupadi menyamar sebagai pengurus rumah/istana Wirata dengan nama Salindri



Sabtu, 27 Maret 2021

Cerita Wayang - Kresna -Miniatur wayang Kresna

Ketika masih muda, Kresna mempunyai nama Narayana. Narayana adalah putra Prabu Basudewa, raja di Mandura dan ibunya bernama Dewi Rohini. Ia memiliki dua saudara. Saudara yang tertua bernama Kakrasana, saudara mudanya bernama Dewi Rara Ireng atau Subadra (Sembadra). Nama kresna juga dikenal sebagai Kesawamurti, Padmanaba, Guwinda, Danardana, Wasudewa dan Wisnumurti.


Ketika masih kecil dengan saudara-saudaranya, Kresna dititipkan di Widarakandang. Mereka diasuh oleh Ki Demang Antyagopa dan Nyai Sagopi. Ketiganya dititipkan oleh Prabu Basudewa (ayahnya) karena adanya ancaman musuhnya yang merupakan saudara tirinya sendiri yaitu Kangsadewa.

Para istri dan para putra Kresna

Kresna beristri empat, yaitu dengan Dewi Pratiwi (berputra Raden Sitija/Setija/Bomanarakasura dan Dewi Siti Sundari), dengan Dewi Jembawati (berputra Raden Samba dan Guna Dewa), dengan Dewi Setyaboma (berputra Dewi Titisari), dan dengan Dewi Rukmini (berputra Raden Partajumena).

Kesaktian ajian yang dimiliki

Kresna juga menjadi titisan Dewa Wisnu. Di dalam pengembaraannya, Kresna/Narayana berguru pada Begawan Padmanaba. Ia mendapat anugerah dewa berwujud senjata ampuh yang tak tertandingi yaitu Cakra Bhaskara, Kembang Wijaya Kusuma (menghidupkan orang mati), serta kesaktian batin mengetahui sesuatu yang belum terjadi (seperti indra ke enam), mantra ajian Balasrewu (jika marah, berubah menjadi raksasa).

Biografi Tokoh Kresna dalam Pewayangan

Diceritakan bahwa Kresna mampu membunuh raja di Dwarakawestri, Prabu Kunjana Kresna/Yuda Kalakresna. Kemudian ia menjadi raja di sana. Nama musuhnya tetap dipakai olehnya shingga namanya menjadi Prabu Kresna. Raja Kresna dikenal adil, bijksana, murah hati, pandai, sakti, dan didukung oleh rakyatnya. Negara Dwarakawestri pun jadi subur, makmur dan adil merata.

Karena ia menjadi titisan Dewa Wisnu, Kresna mempunyai kewajiban menjaga dunia. Ia juga menjadi penasehat para Pandawa yang merupakan masih sekeluarga dengan Kresna. Kresna dan Pandawa pernah meminta negara Astina yang direbut oleh Duryudana. Tetapai Kurawa sangat licik, Kresna diracun, dikeroyok dan dihujani senjata agar mati. Namun Kurawa tak menyangka bahwa Kresna langsung menjadi raksasa dan mengobrak-abrik Astina. Ia berhenti setelah Narada turun dari kahyangan.

Selanjutnya setelah menyelesaikan kewajibannya sebagai Wisnu, Kresna menginginkan muksa. Ia bertapa dengan cara tidur di atas pohon. Kresna muksa setelah telapak kakinya terkena panah seorang pemburu, Ki Jara. Kresna muksa dalam wujud sebagai Wisnu.Wiracarita Mahabharata, yg memuat sebagian riwayat Kresna, terdiri dari delapan belas buku yg disebut Astadasaparwa (18 parwa). Wiracarita tersebut tidak hanya terkenal di Asia Selatan, namun juga menyebar ke Asia Tenggara, antara lain Indonesia.


Di Indonesia, beberapa bagiannya, seperti Adiparwa, Wirataparwa, Bhismaparwa dan mungkin juga beberapa parwa yg lain, diketahui telah digubah dlm bentuk prosa berbahasa Kawi (Jawa Kuno) semenjak akhir abad ke-10 Masehi, pada masa pemerintahan raja Dharmawangsa Teguh (991-1016 M) dari Kediri. Pada masa itu, dikenal pula proyek penerjemahan dengan istilah "mangjawakěn byāsamata", yg bermakna membuat latar dlm cerita tersebut seolah-olah di pulau Jawa.

Di Indonesia, kisah Kresna yg bersumber dari Mahabharata, Hariwangsa, maupun Purana telah diadaptasi lalu digubah menjadi kakawin, antara lain Kakawin Kresnayana dan Kakawin Hariwangsa. Keduanya menceritakan kisah pernikahan Kresna dengan Rukmini, putri dari kerajaan Widarba. Selain itu, terdapat pula Kakawin Bhomantaka, yg menceritakan perang antara Kresna dengan raksasa Bhoma.

Di Indonesia, Mahabharata juga diangkat ke dlm pertunjukkan wayg, dengan adaptasi dan perubahan seperlunya. Dlm budaya pewaygan Jawa, tokoh Kresna dikenal sebagai raja Dwarawati (Dwaraka), kerajaan para keturunan Yadu dan merupakan titisan Dewa Wisnu. Kresna adalah putra Basudewa, Raja Mandura (Mathura). Ia dilahirkan sebagai putra kedua dari tiga bersaudara (dlm versi Mahabharata ia merupakan putra kedelapan). Kakaknya bernama Baladewa (Balarama, alias Kakrasana) dan adiknya dikenal sebagai Sembadra (Subadra), yg dinikahi oleh Arjuna, sepupunya dari pihak ibu. Kresna memiliki tiga orang istri dan tiga orang anak. Para istrinya yaitu Dewi Jembawati, Dewi Rukmini, dan Dewi Satyabama. Menurut pewaygan, anak-anaknya adalah Raden Boma Narakasura, Raden Samba, dan Siti Sundari.

Pada lakon Baratayuda, yaitu perang antara Pandawa melawan Korawa, dia berperan sebagai sais atau kusir kereta perang Arjuna. Ia juga merupakan salah satu penasihat utama pihak Pandawa. Sebelum perang melawan Karna, atau dlm babak yg dinamakan Karna Tanding, dia memberikan wejangan panjang lebar kepada Arjuna. Wejangan dia dikenal sebagai Bhagawadgita, yg berarti "Kidung Ilahi".

Dlm budaya pewaygan, Kresna dikenal sebagai tokoh yg sangat sakti. Ia memiliki kemampuan untuk meramal, berubah bentuk menjadi raksasa, dan memiliki bunga Wijaya Kusuma yg dapat menghidupkan kembali orang mati. Ia juga memiliki senjata yg dinamakan Cakrabaswara yg mampu digunakan untuk menghancurkan dunia. Pusaka-pusaka sakti yg dimilikinya antara lain senjata cakra, terompet kerang (sangkakala) bernama Pancajahnya, Kaca Paesan, Aji Pameling dan Aji Kawrastawan.

Sumber :
Wikipedia

Kamis, 25 Maret 2021

Tokoh Wayang Arjuna

Arjuna dalam pewayangan Jawa


Arjuna adalah tokoh dalam dunia pewayangan budaya Jawa. Beberapa ciri khas Arjuna versi pewayangan mungkin berbeda dengan ciri khas Arjuna dalam kitab Mahābhārata versi India dengan bahasa Sanskerta.


Dalam pewayangan, Arjuna digambarkan seorang kesatria yang gemar berkelana, bertapa, dan berguru. Selain menjadi murid Resi Drona di Padepokan Sukalima, Arjuna juga menjadi murid Resi Padmanaba dari Pertapaan Untarayana.

Arjuna pernah juga menjadi brahmana di Goa Mintaraga, bergelar Bagawan Ciptaning. Ia dijadikan kesatria unggulan para dewa untuk membinasakan Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manimantaka. Atas jasanya, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kahyangan Dewa Indra, bergelar Prabu Karitin. dan mendapat anugrah pusaka-pusaka sakti dari para dewa, antara lain:

- Gendewa (dari Bhatara Indra),

- Panah Ardadadali (dari Bhatara Kuwera),

- Panah Cundamanik (dari Bhatara Narada).

- Setelah perang Bharatayuddha,

- Arjuna menjadi raja di Negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata.

Arjuna memiliki sifat cerdik, pandai, pendiam, teliti, sopan-santun, berani dan suka melindungi yang lemah. Arjuna memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Ia adalah petarung tanpa tanding di medan laga, meski bertubuh ramping berparas rupawan tetapi berhati lembut meski berkemauan baja, kesatria dengan segudang istri dan kekasih meski mampu melakukan tapa yang paling berat, seorang kesatria dengan kesetiaan terhadap keluarga yang mendalam tetapi kemudian mampu memaksa dirinya sendiri untuk membunuh saudara tirinya. Arjuna adalah perwujudan lelaki seutuhnya.

Sangat berbeda dengan Yudistira, Arjuna sangat menikmati hidup di dunia. Petualangan cintanya senantiasa memukau orang Jawa. Konon Arjuna begitu halus dan tampan sosoknya sehingga para puteri begitu, juga para dayang, akan segera menawarkan diri mereka. Merekalah yang mendapat kehormatan, bukan Arjuna. Ia sangat berbeda dengan Wrekudara. Dia menampilkan keanggunan tubuh dan kelembutan hati yang begitu dihargai oleh orang Jawa berbagai generasi.



Arjuna juga memiliki pusaka-pusaka sakti lainnya, atara lain:

- Keris Kiai Kalanadah diberikan pada Gatotkaca saat mempersunting Dewi Pergiwa (putra Arjuna),

- Panah Sangkali (dari Resi Drona),

- Panah Candranila,

- Panah Sirsha,

- Panah Kiai Sarotama,

- Panah Pasupati (dari Batara Guru),

- Panah Naracabala,

- Panah Ardhadhedhali,

- Keris Kiai Baruna,

- Keris Pulanggeni (diberikan pada Abimanyu),

- Terompet Dewanata,

- Cupu berisi minyak Jayengkaton (pemberian Bagawan Wilawuk dari pertapaan Pringcendani) dan Kuda Ciptawilaha dengan Cambuk Kiai Pamuk.

Sedangkan ajian yang dimiliki Arjuna antara lain:

- Panglimunan,

- Tunggengmaya,

- Sepiangin,

- Mayabumi,

- Pengasih dan Asmaragama.

Arjuna juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu

- Kampuh atau Kain Limarsawo,

- Ikat Pinggang Limarkatanggi,

- Gelung Minangkara,

- Kalung Candrakanta dan

- Cincin Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya, raja negara Paranggelung).


Senin, 22 Maret 2021

Tokoh Wayang Narada

Tokoh Wayang Narada

Narada dalam pewayangan yang berkembang di pulau Jawa, dilukiskan dengan bentuk tubuh cebol bulat, berwajah tua, dengan kepala menengadah ke atas. Dalam versi pewayanagan narada menduduki jabatan penting dalam kahyangan, yaitu sebagai penasihat dan "tangan kanan" Batara Guru, raja kahyangan dalam versi pewayangan.

Menurut naskah Paramayoga, Batara Narada adalah putra Sanghyang Caturkaneka. Ayahnya merupakan sepupu Sanghyang Tunggal, ayah dari Batara Guru. Pada mulanya Narada berwujud tampan. Ia bertapa di tengah samudera sambil memegang pusaka pemberian ayahnya, bernama cupu Linggamanik. Hawa panas yang dipancarkan Narada sempat membuat kahyangan geger. Batara Guru mengirim putra-putranya untuk membangunkan Narada dari tapanya. Akan tetapi tidak seorang pun dewa yang mampu memenuhi perintah tersebut. Mereka terpaksa kembali dengan tangan hampa. Batara Guru memutuskan untuk berangkat sendiri untuk menghentikan tapa Narada. Narada pun terbangun. Keduanya kemudian terlibat perdebatan seru. Batara Guru yang merasa kalah pandai marah dan mengutuk Narada sehingga berubah wujud menjadi jelek. Sebaliknya, karena Narada telah dikutuk tanpa penyebab yang jelas, Batara Guru pun menderita cacad berlengan empat.(Sebenarnya bertangan 4 ini adalah pengejewantahan dari sedulur papat lima pancer). Ia pun sadar bahwa Narada memang lebih pandai darinya. Maka, ia pun memohon maaf dan meminta Narada supaya sudi tinggal di kahyangan sebagai penasihatnya.

Dalam pentas pedalangan, tempat tinggal Batara Narada disebut dengan nama Kahyangan Sidiudal-udal. Atau Sidik pangudal udal.



BETARA NARADA (KANEKAPUTRA) Betara Narada atau disebut juga Kanekaputra adalah putra Hyang Darmajaka. Ia elok parasnya dan sakti pula. Untuk dapat menambah kesaktiannya, Betara Kanekaputra bertapa di atas air samudera dengan tidak bergerak gerak. Tangan kanannya menggenggam cupu (cepu) Linggamanik yang tak pernah dilepaskannya. Perbuatan Betara Narada diketahui oleh Betara Guru yang menanggapinya sebagai usaha Betara Narada untuk menguasai dunia ini. Maka segala Dewa oleh Betara Guru dititahkan, supaya mencegah kehendak Betara Narada itu sampai-sampai dengan menggunakan senjata, tetapi segala usaha itu tak berhasil. Betara Narada bersitetap di dalam tapanya. Kemudian Betara Guru sendiri datang menjumpai Betara Kanekaputra. Terjadilah bantah-membantah antara kedua Dewa itu, di mana Betara Guru keluar sebagai pihak yang kalah-bantah. Oleh karenanya Betara Guru merasa lebih muda dari Betara Narada dan untuk selanjutnya menyebut Betara Kanekaputra kakang, kanda. Betara Kanekaputra kemudian dibawa oleh Betara Guru dan dilantik sebagai ketua semua Dewa di Jonggringsaloka yakni istana segala Dewa. Suatu ketika karena murkanya terhadap Betara Kanekaputra, maka muka Betara yang tampan ini oleh Betara Guru dirobah hingga menjadi jelek, sesudah itu Kanekaputra disebut Narada. Betara Narada bermata kriyipan, berkedip kedip terus, berhidung dempak mendongak, bermulut terbuka menampakan gigi, berkumis, bermahkota bentuk topong dengan garuda membelakang, berkain rapekan, berkeris bentuk ladrang (panjang), bersepatu. 

Sumber : Sejarah Wayang Purwa - Hardjowirogo - PN Balai Pustaka - 1982

Asal usul Cangik dan Limbuk